Sunday, 18 October 2015

Pak, Terimakasih

Pak, aku masih ingat waktu pertama kali berjumpa denganmu.
Masih terekam jelas dalam memoriku saat pertama kali Allah mempertemukanku denganmu.
Ahad, 7 September 2014, di rumah itu, ba'da zuhur, kau menungguku; wanita pilihan anakmu.
Ah, sejak pertama kita saling bicara... Kau memang seringkali membahas tentang kematian, tentang nasib kita di akhirat kelak setelah kematian.

Pak, aku masih ingat kata-katamu:
kau bilang, "Saya sudah pesan pada Ari. Cari
istri utamakan aqidahnya. Kita nggak tahu umur, kalau kita sudah mati nanti, yang kita butuh cuma doa dari anak menantu cucu."
Pak, masih segar dalam ingatan, saat engkau memintaku untuk membaca Al-Qur'an.
Di hadapanmu dan di hadapan keluarga mas Ari, aku membaca beberapa ayat dari surat Al-Anfal.
Usai itu, dengan tegas dan jelas kau katakan, "Bapak ridho kamu jadi istri Ari."
Entah, kalimat itu pak, sungguh menbuat hati saya berdesir.

Bapak...
Saya masih ingat pertemuan kedua kita.
Masih di bulan yang sama, 28 September 2014, bapak datang dengan keluarga besar Bapak dan meminang saya untuk anak Bapak yang paling tampan itu; Ari Setiawan Abimanyu. Bapak, masih teringat jelas dalam ingatan, saat engkau membangga-banggakan saya di hadapan tamu yang hadir dalam acara pinangan itu. Seakan engkau begitu percaya bahwa saya adalah wanita yang soleha. Di momen itu juga, engkau tak lupa mengingat kita semua tentang kematian yang pasti akan datang, cepat atau lambat.

Masih terngiang dalam telinga saya, Pak. Saat engkau tiga kali berturut-turut mengatakan: "Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, saya sungguh-sungguh berniat meminang Suryani untuk anak saya; Ari Setiawan Abimanyu."

Pak, saya masih ingat pertemuan ketiga kita.
Pertemuan ketiga yang ternyata menjadi pertemuan terakhir antara saya dengan Bapak.
12 Oktober 2014, engkau datang bersama mama dan Mas Ari untuk menentukan tanggal pernikahan.
Orangtua saya menawarkan dua tanggal untuk menjadi pilihan; 25 Januari 2015 atau 31 Januari 2015.
Engkau pun memilih tanggal 25. Hari yang kemudian menjadi hari yang begitu istimewa untuk saya, Pak.

Pak, saat mendengar engkau sakit, saya pikir hanya sakit biasa. Sebab, anakmu, Mas Ari, dia memberi kabar dengan begitu tenangnya. Maaf pak, saya tak sempat menjengukmu di rumah sakit, sebab di saat yang sama saya pun jatuh sakit.

13 Desember 2014 pukul 02.00
Di tengah tidur saya, saya dikejutkan dengan berita kepergianmu. Suara di seberang sana mengatakan, "Bapak... dah nggak ada." Tanpa isak tangis sedikitpun Mas Ari mengabarkan via telpon. Setelah suara itu menghilang. Justru aku yang tak dapat menahan airmataku. Aku menangis, "Allah, kupikir Engkau izinkan aku untuk dikelilingi 3 lelaki sholeh di sisiku. Sehingga aku memiliki 2 ayah yang sholeh juga suami yang sholeh." Ya itulah kehendak Allah, tak selalu sejalan dengan keinginan kita. Pagi itu juga, Saya segera datang ke rumahmu pak. Datang untuk yang kedua kalinya.

Bapak...
Selamat jalan, saya percaya... orang sebaik Bapak, pasti Allah tempatkan di antara taman-taman surga.
Namun, ada kalimat yang tak sempat terucap untukmu, Pak.

Kalimat sederhana dari menantumu, ya menantumu.

Bapak, saya hanya ingin menyampaikan; "Terimakasih, Pak. Terimakasih karena Bapak telah meminang saya untuk anak Bapak yang teristimewa.  Bapak, terimakasih, terimakasih atas kepercayaan Bapak pada saya untuk menjadi pendamping hidup anak Bapak yang sholeh ini. Bapak, terimakasih, terimakasih telah mendidik Mas Ari dengan sebaik-baik didikan. Sungguh, saya dapat bersaksi bahwa dia telah memperlakukan saya dengan sebaik-baik akhlak. Ya, saya percaya, tentu itu semua tak terlepas dari ajaranmu kepadanya. Sekali lagi pak, Terimakasih. Bapak, saya akan berusaha membantu anak bapak ini untuk menghafalkan Al-Qur'an sebagaimana cita-citanya, agar kelak di akhirat Allah memakaikan jubah kemuliaan dan mahkota dari cahaya kepadamu di hadapan seluruh manusia. Semoga itu bisa menjadi sebaik-baik balasan atas rasa terimakasih saya kepadamu, Pak."

In syaa Allah.

No comments:

Post a Comment