Sepuluh tahun yang lalu, persisnya tahun 2005. Pak Idi kedatangan tamu istimewa. Seorang hamba Allah yang meminta pertolongannya. Berharap agar Pak Idi dapat membantu biaya sekolah anaknya yang saat itu sudah "nunggak" beberapa bulan. Awalnya Pak Idi heran, mengapa orang tersebut datang kepada Pak Idi? Pak Idi bukan orang kaya. Hidupnya pun terlihat sederhana. Rumahnya saja masih ngontrak. Namun, satu hal yang Pak Idi percaya, bahwa orang itu datang kepadanya atas kehendak Allah swt. Mungkin Allah menganggapnya orang yang "mampu". Pak Idi pun menyanggupi. Dirogoh sakunya dalam-dalam, diberikanlah uang itu kepada hamba Allah yang datang tersebut. Sejak itu, tak jarang orang-orang yang menemui kesulitan mengetuk pintu rumahnya untuk meminta bantuan.
Sampai hari ini, ia memiliki 35 anak yatim dan dhuafa yang ia biayai untuk sekolah. 35 anak itu tetap berada di rumah orangtuanya masing-masing, hanya saja setiap pekan mereka harus belajar tahsin dengan Pak Idi dan istri. Ya, tiap sabtu minggu ba'da magrib, rumah Pak Idi dipenuhi dengan anak-anak yang datang untuk mengaji. Bagi yang sudah tamat tahsinnya, Pak Idi melanjutkan sampai tahap tahfidz.
"Mereka tidak hanya butuh uang, mereka juga harus dibina." Begitu kata Pak Idi pada saya.
"Kadang saya merasa lucu dengan hidup saya. Saat orang-orang pusing dengan bayar kontrakan, cicilan rumah, alhamdulillah, saya diberi Allah tempat tinggal yang gratis. Ya Allah, baik banget."
"Oh ya, kok bisa, Pak?"
Ah, ternyata Pak Idi diminta oleh kenalannya untuk menjaga kebun miliknya, dimana disana disediakan tempat untuk tinggal. Gratis, tanpa bayar. Masyaa Allah.
Ah, kawan, kau tahu? Darimana Pak Idi membiayai 35 anak asuhnya?
Pak Idi itu hanya seorang guru tahsin dan distributor majalah paud dan TK. Beliau bukan pekerja kantoran yang gajinya jutaan. Bukan! Lha kok bisa membiayai anak yatim dan dhuafa untuk sekolah?
Jangan saya yang menjawab, biarlah kalian "dengar" sendiri jawaban dari Pak Idi.
"Saya ini hanya perantara saja. Rezeki mereka, Allah yang kasih melalui saya. Saya tidak mendirikan yayasan, tapi ada saja tangan-tangan hamba Allah yang digerakkan untuk membantu anak-anak asuh saya. Ya, memang adanya donatur pun tidak rutin setiap bulan memberi sumbangan, kalau begitu ya saya yang harus bekerja keras, lebih giat mencari uang, dengan cara-cara ini." katanya sambil menunjuk majalah yang baru saja diantarkan ke TK tempat saya mengajar.
Ah, kawan, matematika Allah memang berbeda dengan matematika kita. Kalau matematika kita: gaji kita dikurang kebutuhan "rasanya" ngepress banget. Sampai kita merasa berat untuk mengeluarkan sebagian kecil dari gaji kita itu untuk sedekah. Padahal matematika Allah itu unik.
Gaji - Kebutuhan - Sedekah = BERKAH
Tahu berkah? Bertambahnya kebaikan. Ah, berkah itu sulit diukur dengan angka. Namun, sungguh bisa dirasakan kenikmatannya.
Pak Idi telah membuktikannya.
Secara matematika kita, penghasilan Pak Idi tidak mungkin cukup untuk membiayai puluhan anak yatim dan dhuafa. Dan ternyata kita salah! Salah besar!
Mungkin kita belum mampu seperti Pak Idi, tapi setidaknya kita bisa belajar dari Pak Idi tentang satu hal....
"JANGAN TAKUT MISKIN KARENA SEDEKAH. JANGAN TAKUT MENJADI SUSAH KARENA MENOLONG ORANG."
Ingatlah...
Matematika Allah berbeda dengan matematika kita.
Sungguh, dalam rizki yang Allah titipkan pada kita, ada rizki untuk orang lain.
Sebagaimana saat Allah rizkikan kita untuk makan biskuit, ada rontokan biskuit yang Allah rizkikan untuk semut.
Raihlah berkah lewat sedekah!
No comments:
Post a Comment