Friday, 1 August 2014

Segala yang Terbaik



"Nay, udah mau magrib, nggak bikin teh?"
Sebuah kode meluncur dari mamaku, ya aku tahu, maksudnya mama ingin aku bikin teh untuk buka puasa nanti.
Sigap ku jawab, "Iya mah, masak air dulu yaah."
Sejurus kemudian, air pun mendidih dan kukucurkan pada gelas-gelas yang sudah berisi racikan teh tubruk dan bubuhan gula.
hmmm, wanginya. Aku suka sekali bau teh. Eh, lagi puasa yah?

Dua gelas teh, sepiring pisang goreng, sudah terhidang di lantai kami. Kami sejak dulu tak pernah pakai meja makan.
Aku dan mama duduk berdua, menanti detik demi detik yang berlalu. Hanya ada kami berdua. Sejak beberapa tahun lalu, bapak selalu berbuka di mushola dekat rumah. Sebab bapak terbiasa datang ke mushola di awal waktu. Aku anak terakhir dari 5 bersaudara. Semua sudah menikah, kecuali aku dan kakakku yang ketiga. Tapi ia sedang ngontrak di dekat tempat kerjanya dan hari ini tak pulang ke rumah. Jadilah saat ini, benar-benar hanya ada aku dan mama.


"Allahuakbar..Allahuakbar"

Alhamdulillah, adzan pun berkumandang. Tertunai sudah puasa kami di hari ke-16. Setelah seteguk air membasahi kerongkonganku, aku berdoa dengan lirih, "Ya Allah, sampaikan seberkas rindu ini padanya. Agar ia tahu, aku menunggunya. aamiin" Aku tersenyum.

"Ngapain kamu senyum-senyum?"
"Hehehe, nggak papa mah. Mama nggak doa? Doa mah, kan waktu berbuka itu waktu mustajab untuk berdoa. Doa mah, doain Nay."
"Kamu ini, nggak usah disuruh mama pasti doain kamu. 5 kali sholat, 5 kali doain."
Jawab mama dengan nada kesal saking bosannya mendengar permintaan ini. Ya, aku suka menggodanya; "Doain Nay ya maaah", "Maah, doain ya", "maa, doain Nay doong." dan jawabannya selalu sama..."Kamu ini, nggak usah disuruh mama pasti doain kamu. 5 kali sholat, 5 kali doain."
Sesekali ada tambahan kalimat; "anak, cucu, mantu, semua mama doain." Aku hanya tertawa ringan tiap kali mama sudah mengucapkan kata pamungkas itu.

Segelas teh tubruk dengan aroma khasnya sangat memanjakan lidah. Beberapa pisang goreng rasanya sudah cukup memenuhi perut ini. Usai itu, aku mengambil wudhu untuk mendirikan sholat magrib dan rawatib, lantas baca qur'an sambil menunggu adzan isya dikumandangkan.
Ah, itu dia. Suara adzan bapak terdengar dari speaker mushola. "Bapaak." Ucapku lirih.

Aku dan mama bergegas melangkahkan kaki menuju mushola. Ini tepat malam ke-17, malam nuzulul qur'an.

Di mushola, "luruskan dan rapatkan shafnya, karena itu merupakan kesempurnaan sholat berjama'ah." Seru imam pada para jama'ah.
"Allahuakbar", "Bismillahirahmanirrahim......"
Suasana mushola ini mendadak syahdu. Lantunan ayat-ayat suci yang dibawakan oleh sang Imam sungguh sangat menggetarkan hati.
Iya, dia ustadz muda yang biasa jadi Imam rawatib (imam tetap) di Masjid jami' RW kami. Tahun lalu, untuk pertama kali dia mengimami shalat di mushola ini. Sejak itu, ia jadi imam favorit jamaah. Bahkan cukup memecah rekor karena membuat jamaah ibu-ibu berdecak kagum, "kalau yang ngimamin kayak gini. Saya betah sholat lama-lama. Enak banget suaranya." , "Ya Allah, saya serasa lagi shalat di makkah atau madinah." Timpal Ibu-ibu yang sudah menyicipi pergi haji dan umroh. Hmm, aku jadi ingat, tahun lalu itu, saat pertama kali diimami oleh imam ini, aku pernah bergumam, "Beruntung nian istrinya. Pasti istrinya adalah wanita yang istimewa. Hmm ya Allah, boleh nggak minta yang kayak gini?" Aku cengengesan sendiri. "Duh, ngaca dulu kamu, Nay!".

"Assalamu'alaikum warahmatullah...", "Assalamu'alaikum warahmatullah..."
Selesai sholatnya.

Habis dzikir, aku berdiri melaksanakan ba'diyah isya. Di mulailah sesi ceramah!

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Salam sang imam masih dengan suara khasnya. Setelah puji dan syukur, tiba-tiba sang imam diam. Terdengar suara helaan nafasnya.

"Pada kesempatan kali ini, izinkan saya meminta waktu sebentar untuk menunaikan sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam...
Apa ada Bapak fulan disini? Ayahanda dari Nay, Naya Khoirunnisa." Jamaah seketika riuh. Mata para jamaah wanita pun langsung tertuju kepadaku. Mata jamaah laki-laki langsung terpusat ke bapakku.

Tiba-tiba detak jantungku tak lagi terkontrol. Dag-Dig-Dug. Dag-Dig-Dug. Aku mencoba untuk mengatur nafasku. Memegangi jari jemari yang tanpa sadar jadi gemetar. "Ada apa ini?" Batinku. Aku memandang mama dan mama pun memandangku. Tak ada kata. Seakan mata kami cukup untuk mengisyaratkan apa yang ada di hati kami masing-masing. Mama pun memegang tanganku, erat. Dari lantai dua, aku melihat adegan itu dengan jelas. Bapak mengangkat tangannya dan sang imam menghampiri bapak, mengajak bapak menuju area dekat mimbar.

"Bapak...saya berniat menikahi putri bapak. Apakah bapak mengizinkannya?"

"Semua saya kembalikan kepada putri saya." Jawab bapak sambil menengok ke lantai 2, menatapku dalam. Aku diam. Belum bisa memercayai adegan yang tengah kulihat di hadapanku ini. Lama keheningan ini berlangsung. Sampai aku mengangguk pelan, sangat pelan.

Penghulu sudah disediakan. Sampai akhirnya, momen yang selama ini aku nantikan, wujud di depan mataku. Ketika Bapak harus menjabat tangan seorang lelaki untuk menyerahkan tanggungjawab bapak terhadapku selama ini. "Saya nikahkan engkau dengan putriku, Naya Khoirunnisa binti fulan dengan mas kawin Tafsir Fizilalil Qur'an dan Lantunan surah Ar-Rahman." , "Saya terima nikahnya Naya khoirunnisa binti fulan dengan mas kawin tersebut, tunai."

"Bagaimana saksi?"

Saaaah! Sahut semua jamaah shalat tarawih.

"alhamdulillaah."

Sudah? Jadi malam ini... Aku sudah memiliki seorang qowwam? Secepat ini? Aku masih sulit untuk mempercayainya. Tapi ini memang nyata.
Jadi, berakhir sudah kesendirian ini? Tersampai sudah rindu ini? Allah, terimakasih atas doa yang telah di ijabah.

"Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah." Aku tersungkur sujud seketika.

Akhirnya...

"Ar-rahmaan. 'Allamal qur'an. khalaqal insaan....."
Lantunan ayat-ayat ini menjadi maharku. Isak tangis jamaah, pecah seketika.

Untuk pertama kali, aku mencium tangan seorang lelaki yang orang-orang sebut ~ Suami.

"aku memilih hari terbaik, bulan terbaik, tempat terbaik, pakaian terbaik, tamu terbaik, dan mahar terbaik untuk menikahi wanita terbaik sepertimu."

Aku menggigit bibirku, menahan senyum yang pada akhirnya tak mampu aku bendung...

***

Et et, jangan senyum-senyum. Ini cuma cerpeeeeeeeeen!

hehehe :D

No comments:

Post a Comment