Friday 1 August 2014

Lima Huruf, Satu Kata, Depannya C :')



Sebenarnya, udah suruh tidur nih sama Bapak.
Tapi lagi pengen nulis dan alhamdulillah besok libuur :D
Jadi punya alasan supaya boleh tidur lebih malem.

Mulai darimana ya pembahasan ini.
Baiklah. Gimana kalau dengarkan saya bercerita dulu?

Beberapa bulan ini, ada hal yang sangat membayang-bayangi pikiran saya.
Lima huruf, satu kata. Depannya C. Apa itu?

Wah, kamu salaaah!
Pasti kamu mikirinnya yang laen deh.

Baik, biar saya kasih tahu saja.
Lima huruf, satu kata itu adalah: Cadar.

Ini bermula ketika saya dapat tugas dari dosen siroh nabawiyah untuk memaparkan perang qainuqa'.
Baik, akhirnya, saya pun membaca sirah nabawiyah karya Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy.
Hmm, tahu kisahnya? Sekilas saja, perang qainuqa' ini tersebab oleh pengkhianatan kaum yahudi terhadap muslimin. Yahudi melanggar piagam madinah yang telah disepakati bersama. Yahudi melecehkan salah satu syariat islam yakni cadar. Di sebuah pasar bani qainuqa', ada seorang muslimah yang tengah duduk menunggu tukang sepuh perhiasan menyepuh perhiasannya. Kemudian datanglah sekelompok lelaki yahudi yang meminta agar muslimah ini membuka cadarnya. Jelas saja, muslimah itu menolak. Namun, kurang ajarnya, tukang sepuh perhiasan yang juga orang yahudi menyangkutkan ujung pakaian muslimah ini ke punggungnya, sehingga ketika muslimah ini berdiri, tersingkaplah aurat belakangnya. Para lelaki Yahudi itu pun menertawakannya. Wanita tersebut menjerit meminta pertolongan. Seorang muslim yang ada di pasar itu dengan sigap membantu sang muslimah dengan menghajar tukang sepuh perhiasan yang kurang ajar itu dan membunuhnya. Sekelompok lelaki yahudi itu pun membalas dengan mengeroyok si lelaki muslim ini hingga ia meninggal. (Cerita lengkapnya, sila cari di blog saya ya, Judulnya: Perang Qainuqa')


Ketika membaca uraian Syaikh Al-Buthy itu, tiba-tiba saya terperanjat. Kaget. Tepat ketika saya menelusuri pemaparannya tentang cadar.
Ohya, perlu di ketahui sebelumnya, buku sirah ini selain menceritakan peristiwa, penulis juga memaparkan ibrah-ibrah yang terdapat di peristiwa tersebut.

Dalam buku ini, Syaikh Al-Buthy menegaskan bahwa memakai cadar itu wajib. Ahhh. Ya, beliau memaparkan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama terkait hal ini dan menjelaskan pandangannya. Jujur, saya sangat sependapat dengan Syaikh Al-Buthy, tapi...kamu pasti tahu, memutuskan untuk pakai cadar itu tidak mudah. Duh, saya harus menghela nafas. Berat. Bahkan sangat berat.

Baik, saya akan tuliskan disini, bagaimana pemaparan beliau terkait cadar:

"Peristiwa ini menunjukkan bahwa hijan yang disyariatkan oleh islam kepada wanita ialah dengan menutup muka.  Seandainya tidak demikian, niscaya wanita tersebut tidak perlu keluar rumah dengan menutup mukanya. Seandainya menutup muka bagi wanita muslimah bukan menjadi hukum agama yang di perintahka islam, niscaya orang-orang yahudi itu tidak akan memaksa wanita Arab tersebut untuk membuka tutup mukanya. Sebab, dengan tindakan itu, mereka hanya bermaksud menodai perasaan keagamaannya yang secara jelas tampak dalam pakaiannya.

Mungkin ada orang yang membantah bahwa peristiwa yang hanya diriwayatkan oleh ibnu Hisyam ini terdapat sedikit "kelembekan" dalam periwayatannya sehingga tidak kuat untuk menetapkan hukum seperti ini. Akan tetapi, riwayat ini ternyata juga dikuatkan oleh sejumlah hadits shahih, di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah ra dalam bab "Pakaian bagi Orang yang Ihram", ia berkata,

"janganlah ia (wanita yang sedang berihram) menutup muka dengan cadar dan memakai pakaian yang dicelup dengan waras (wewangian) atau za'faran."

Demikian pula hadits yag diriwayatkan oleh Malik di dalam Al-Muwaththa' dari Nafi' bahwa Abdullah bin Umar pernah berkata,

"Wanita yang sedang berihram tidak boleh memakai cadar muka, begitu pula sarung tangan."

Apa arti larangan memakai cadar (tutup muka) bagi wanita yag sedang melakukan ihram di waktu melaksanakan haji? Mengapa larangan ini khusus bagi wanita saja, tidak termasuk laki-laki? Tidak diragukan lagi bahwa larangan  atau pengecualian ini menunjukkan bahwa menutup muka (memakai cadar) merupakan sesuatu yang biasa dilakukan wanita muslimah di luar pelaksanaan haji.

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya dari Fatimah binti Qais bahwa setelah dia diceraikan oleh suaminya, Rasulullah saw memerintahkannya supaya dia (Fatimah binti Qais) menunggu masa 'iddah di rumah Ummu Syarik, kemudian Rasulullah saw memberitahukan kepadanya bahwa rumah Ummu Syarik banyak dihuni oleh para sahabatnya (Sahabat Nabi saw). Akhirnya Rasulullah saw memerintahkan Fatimah binti Qais untuk menunggu masa 'iddah-nya di rumah anak paman Fatimah binti Qais, yaitu Ibnu Ummi Maktum, karena dia (Ibnu Ummi Maktum) seorang yang buta yang tidak akan melihat manakala ia melepas kerudungnya.

Itulah dalil-dalil yang mewajibkan wanita muslimah agar menutup muka dan seluruh anggota tubuhnya dari lelaki "asing".

Adapun dalil-dalil yang melarang lelaki melihat wanita termasuk wajahnya, dapat kami sebutkan diantaranya sebagai berikut.

Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan Turmudzi dari Barirah ra. Ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda kepada Ali,

"Wahai Ali, janganlah kamu melihat (wanita) pandang demi pandang karena kamu hanya mempunyai hak pada pandangan pertama, tetapi tidak pada pandangan kedua (dan seterusnya)."

Dalam riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas ra disebutkan bahwa Fadhal bin Abbas pernah mengikuti Rasulullah saw pada hari penyembelihan. Pada kesempatan ini, Nabi saw ditanya oleh seorang wanita dari suku Khats'amiah yang terkenal ceriwis. Ketika itu, Fadhal memandang agak lama kepada wanita tersebut lalu Rasulullah saw memegang dagu Fadhal dan memutarnya ke belakang.

Di dalam kandungan hadits-hadits di atas terdapat dua larangan: Larangan bagi wanita untuk membuka wajahnya atau salah satu bagian tubuhnya di hadapan lelaki asing dan larangan bagi kaum lelaki untuk melihatnya. Kiranya hasits-hadits yang telah kami di atas cukup sebagai dalil bahwa wajah wanita adalah aurat di hadapan lelaki asing kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti darurat berobat, belajar, kesaksian, dan lain sejenisnya.

Akan tetapi, di antara imam madzhab ada yang berpendapat bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita bukanlah aurat yang wajib ditutup. Mereka menafsirkan hadits-hadits mengenai masalah ini sebagai perintah bersifat anjuran (nadb), bukan wajib. Kendatipun demikian, semua fuqaha telah menyepakati bahwa seorang lelaki (asing, bukan muhrim) tidak boleh melihat salah satu anggota tubuh wanita dengan syahwat dan wajib atas wanita menutup mukanya manakala kefasikan telah menyebar luas sedemikian  rupa di tengah-tengah masyarakat karena semua orang yang memandangnya adalah orang-orang fasik dan bermata jalang.

Jika anda perhatikan kondisi kaum muslimin sekarang denga segala kefasikan dan kemungkarannya, akibat lemahnya pembinaan dan akhlak, niscaya anda akan menyadari bahwa tidak ada alasan untuk membolehkan wanita membuka wajahnya dalam kondisi seperti itu. Sesungguhnya, jurang berbahaya yang sedang dilalui masyarakat islam dewasa ini menuntut --untuk menjamin keselamatannya-- peningkatan sikap "hati-hati" dan "pengetatan-pengetatan" sampai kaum muslimin mampu melewati tahapan berbahaya tersebut dan mampu pula menguasai serta mengendalikan masalah yang dihadapinya.

Atau dengan ungkapan lain, sesungguhnya orang yang selalu mengambil rukhshah (kelonggaran) dan kemudahan-kemudahan agama, lambat laun ia akan menghanyutkan dirinya kepada tindakan melepaskan diri dar kewajiban secara keseluruhan selagi tidak ada arus sosial islam yang benar yang mengendalikan "keringanan-keringanan" tersebut dalam suatu Manhaj Islami yang bersifat umum dan memeliharanya dari segala bentuk pelampauan batas yang disyariatkan.

Tetapi anehnya, ada sebagian orang yang berpegang teguh kepada apa yang mereka namakan "perubahan hukum mengikuti perubahan zaman" dalam masalah keringanan, kemudahan, dan usaha-usaha melepaskan diri dari kewajiban saja, namun mereka tidak menyebutkan kaidah tersebut sama sekali ketika situasi menuntut kebalikan daripadanya. Sampai sekarang, saya belum mendapatkan satu contoh yang lebih tepat untuk menerapkan kaidah "perubahan hukum mengikuti perubahan zaman" selain dari keharusan menetapkan wajibnya menutup wajah bagi wanita, mengingat tuntutan-tuntutan zaman pada masa kita hidup sekarang ini di samping mengingat banyaknya "ranjau-ranjau" yang menuntut kita agar lebih berhati-hati dan berwaspada dalam meniti dan melangkahkan kaii, sambil menunggu datangnya pertolongan Allah dalam mewujudkan masyarakat islam yang kita cita-citakan."

Gimana?

puanjang yah, penjelasannya. Tapi saya harap, untuk sebuah ilmu, kita harus belajar untuk bersabar. Bersabar untuk membaca tulisan yang puanjang-puanjang macam ni.

Di suatu siang, di Ma'had Al-Manar, akhirnya saya harus membawakan materi ini di hadapan dosen dan teman-teman kuliah.
Jadilah, pembahasan ini riuh renyah di diskusikan.

"..dan salah satu ibrohnya disini Syaikh Al-Buthy memaparkan bahwa memakai cadar ituuu ..... wajib."
Begitu, sepenggal kalimat saya yang tiba-tiba membuat suasana kelas jadi gaduh.

"Nah loh! Yang ngejelasin kok nggak make cadar?"

Saya cuma cengar-cengir aja dapat omongan seperti itu.

Setelah panjang pembicaraan ini berlangsung, tanya jawab antara saya dan teman-teman usai, akhirnya, ust. Hariyanto (dosen siroh) pun angkat bicara.

Jadi, semua ulama sepakat bahwa aurat itu harus di tutup. Tapi, ulama berbeda pendapat soal bagian mana sajakah yang menjadi aurat wanita. Dalam hal ini, ulama terbagi menjadi 2 pandangan. Pandangan pertama bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat. Pandangan kedua bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Nah, pertanyaannya sekarang... kita sebagai orang Indonesia yang katanya mengikut madzhab Imam Syafi'i, tahukah kita, Imam Syafi'i berpandangan seperti pandangan pertama atau kedua?

Pertanyaan itu... di lontarkan ustadz Hariyanto pada kami semua. Kami pun masing-masing berbeda pendapat. Kebanyakan menjawab bahwa pandangan Imam Syafi'i adalah pandangan kedua. Saya menjawab, pandangan Syafi'i adalah pandangan pertama. Sebab seingat saya, Ustadz Hariyanto pernah mengatakan bahwa Syaikh Al-Buthy ini mengikut madzhab Syafi'i. Daan ah, benar. Makin kaget saja kami ini.

Tapi, di akhir penuturannya, ustadz Hariyanto bilang, "kedua-duanya benar. Sama-sama memiliki dalil. Jadi, jangan ada yang menyalahkan yang memakai cadar dan jangan pula menyalahkan yang tidak memakai cadar. Yang salah adalah yag tidak mau menutup aurat. Kalau tidak menutup aurat, madzhab apa itu ya?"

"Madzhab Sapi'i" Sambung Ust. Hariyanto di sambut gelak tawa kami semua.

***

Hayooo, akhwat, jadi pilih mana?

Buat saya pribadi, sungguh, saya sangat kagum dan mengapresiasi akhawat-akhawat yang memakai cadar.
Saya iri dengan mereka, sebab mereka lebih baik dalam berpakaian daripada saya.
Aurat mereka lebih terjaga daripada saya.

Sebenarnya, saya sudah punya satu set baju plus cadarnya, hadiah dari mad'u-mad'u tercinta.
Tapi...ini berat. Dan butuh proses yang panjang untuk sampai disana. Ah, atau mungkin saya saja yang cemen.
ah, sudahlah, dari dulu proses saya itu memang lamban. Saya ingin memaknai setiap senti kerudung saya ini.
Bahwa makin panjang, makin banyak tuntutan yang ada pada diri saya. Makin panjang, makin "asing" orang memandang...ah, ituuu yg berattt.

Tolong, doakan kami para akhawat...
agar kian hari kami dapat menyempurnakan hijab kami ini.
Agar kami istiqomah dalam menggunakan pakaian takwa ini sekalipun pakaian modern itu sesekali menggiurkan kami.
aamiin.


*terus dan teruslah berproses, bermetamorfosa, menjadi akhawat yang teristimewa.*

No comments:

Post a Comment