“hari ini mungkin kita tengah bosan dengan makanan rumah yang itu-itu
saja, lantas pergi keluar untuk makan KFC, Hokben, MCd, AW, Bakmi GM, Bebek
Kaleyo yang harganya merogoh kocek lebih dalam. Kita seakan lupa bahwa di luar
sana, ada orang yang untuk makan makanan rumah saja susah, untuk sesuap nasi
saja harus bekerja mati-matian, bahkan untuk merasakan nikmatnya nasi hangat
saja tidak mampu. Betapa kufur nikmatnya kita..”
“hari ini mungkin kita masih saja menyisakan nasi di piring saat makan,
ya mungkin memang hanya beberapa suap saja. Dengan mudahnya kita berkata, ‘aku
sudah kenyang’ lalu membiarkan nasi kita itu terbuang. Seakan kita lupa bahwa
di luar sana ada orang yang meringis kelaparan karena tak mampu mengisi
perutnya walau hanya sesuap. Bahkan banyak bayi mungil yang harus menderita
busung lapar. Sedang kita ? Seakan merasa tak bersalah saat tak menghabiskan
makanan kita. Mungkin kita pikir, harga nasi itu mudah untuk di beli. Betapa tak
tahu bersyukurnya kita..”
Segelintir kisah, dari pinggiran kota metropolitan.
Kampung Sawah,
Cilincing – Jakarta Utara
Kisah ini
terjadi sekitar satu setengah tahun yang lalu. Di sebuah perkampungan kumuh
dengan mayoritas pekerjaan penduduknya adalah pemulung. Aku mendengar kisah ini
saat aku berkunjung kesana untuk melakukan Bakti Sosial bersama teman-teman. Di
tempat ini memang begitu banyak menyimpan kisah yang memilukan. Kak Tia, salah
satu guru BIMTA disana mengisahkan tentang seorang santri yang meninggal karena
kelaparan. sebelumnya maaf, aku lupa nama santri itu. Jadi, kita sebut saja almarhumah
dengan nama ‘Fulanah’. Dik fulanah ini berumur sekitar 8 tahun. Ia seorang
yatim. Ia sakit demam kala itu. Fulanah kelaparan, lantas ia meminta makan pada
ibunya. Lantaran sang Ibu tak memiliki sesuap nasi sedikit pun, Ibu kemudian
mendatangi beberapa tetangganya untuk meminta makanan. Namun, seperti yang ku
katakan sebelumnya, mayoritas penduduk disana hanya bekerja sebagai pemulung,
jadi para tetangga fulanah pun tak memiliki makanan lebih yang dapat diberikan.
Karena tak tega melihat Fulanah yang begitu kelaparan, akhirnya sang Ibu
memutuskan untuk mengorek sampah, mencari sisa makanan yang dibuang. Setelah
menemukan sebungkus nasi bekas, ibu pulang dan membersihkan nasi tersebut
dengan mencampurkannya sedikit air hangat. Tampak seperti bubur. Kemudian Ibu
suapi makanan itu ke mulut Fulanah. Sesuap demi sesuap. Tak lama berselang,
dalam hitungan hari yang tak panjang, Fulanah meninggal.
Sobat,
usia mereka masih muda belia. Tapi derita mereka tiada tara. Penderitaan yang
semestinya tidak dirasakan oleh bocah polos seperti mereka. Sewaktu saya dan teman-teman
mengadakan baksos disana sekitar pukul 9 pagi, mereka sama sekali belum makan.
Mereka bisa makan sehari sekali saja sudah bersyukur. Bagaimana dengan kita ?
Astagfirullah.
Sobat,
sekarang kalau kita ingin membantu itu tidak sulit. Sudah begitu banyak lembaga
yang berkenan menyalurkan sedekah kita untuk saudara-saudara kita yang kurang
beruntung. Lebih mudahnya lagi, kita bisa menyalurkan bantuan itu via online,
seperti Lembaga Zakat Dompet Dhuafa. Segalanya telah dipermudah, kalau kita
memang memiliki niat yang kuat untuk membantu saudara kita, kita pasti tidak
beralasan lagi untuk tidak melakukannya.
Mungkin kita sering berjam-jam di
depan laptop, BB, Tablet untuk ber-internet-an ria, bahkan sampai kehabisan ide
ingin buka situs apalagi. Cobalah, sejenak saja..buka situs yang menyediakan
layanan sedekah online. Bacalah keadaan saudara kita yang papa. Kalau kita tak
punya cukup uang untuk bantu mereka, setidaknya kita punya mulut untuk bicara,
mengajak teman-teman untuk bersedekah disana. setidaknya kita ikut andil untuk
men-share situs itu di berbagai jaring sosial yang kita miliki. Mungkin sepele bagi
kita, tapi begitu bermakna untuk mereka. Sebagai channel dariku, mudah sedekah secara online dengan Marimembantu.org. Selamat bersedekah !
“kebahagiaan itu akan
sempurna ketika kebahagiaan itu kita sematkan pada orang lain..
Ya, membahagiakan orang lain adalah kebahagiaan yang sempurna. Kebahagiaan itu menjadi wujud, mampu kita lihat dengan mata..
Ya, melihat senyumnya. Melihat tawanya. Melihat keceriaan di wajahnya.”
Ya, membahagiakan orang lain adalah kebahagiaan yang sempurna. Kebahagiaan itu menjadi wujud, mampu kita lihat dengan mata..
Ya, melihat senyumnya. Melihat tawanya. Melihat keceriaan di wajahnya.”
No comments:
Post a Comment