copas di : http://www.oaseimani.com/
Fathimah tetap asyik di tempat duduknya ketika ibunya menyambut seorang tetangga yang datang berkunjung. Ibunya heran ketika melihat putrinya tidak beranjak dari tempat duduknya untuk menyambut tamu itu meskipun tamu itu mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Fathimah; ia tidak memperdulikannya. Ia tidak mau menjabat tangan tamu itu. Sejenak ia membiarkan tangan tamu itu terjulur di hadapan ibunya yang masih bingung. Ibunya lantas menghardik putrinya, “Fathimah, berdiri, dan ucapkan salam kepada bibimu ini!” Fathimah membalas dengan pandang cuek, dia tidak bergeser dari tempat duduknya, seolah ia tidak mendengar perintah ibunya.
Tamu itu merasa sangat bersalah melihat sikap dingin Fathimah. Ia merasa telah menyakiti perasaan anak itu, merendahkan kehormatan dan melakukan penghinaan terhadapnya. Ia pun menarik kembali tangannya yang terjulur. Dia pun segera meminta izin undur diri seraya berkata, “Kelihatannya saya berkunjung pada saat yang kurang tepat!”
Saat itu tiba-tiba Fathimah meloncat dari tempat duduknya, memegang tangan
tamu itu dan mengecup kepalanya sembari berkata, “Maafkan aku bibi, demi Allah aku tidak bermaksud jahat kepadamu!” Fathimah meraih tangan tamu itu dengan lembut, penuh cinta dan penghormatan. Fathimah mengajaknya duduk kembali dengan berkata, “Engkau tahu kan bibi, betapa besarnya rasa cinta dan hormatku kepadamu?”
Fathimah berhasil menghibur hati tetangga itu dan mengusap lukanya akibat kesalahan yang dia lakukan. Kelakuan yang aneh, dan tidak bisa dimengerti. Di sisi lain, ibunya memendam amarah dan berusaha menahannya agar tidak berkobar di depan tamunya.
Kemudian, setelah berbincang-bincang, tetangga itu berdiri untuk pamitan pulang. Fathimah kembali bergegas berdiri untuk mengulurkan tangan, sementara tangan satunya lagi memegang tangan tamu itu sembari berkata, “Sebaiknya kubiarkan tanganku mengulur agar engkau tidak mengulurkan tanganmu kepadaku untuk menebus kesalahan yang kulakukan tadi.”
Tamu itu malah mendekap Fathimah ke dadanya, dan memeluknya erat-erat. Dia mengecup kepala Fathimah dan berkata, “Tidak mengapa, sebab kamu telah bersumpah bahwa kamu tidak bermaksud berbuat jahat kepadaku.”
Tak lama setelah kepulangan tamu itu, sang ibu berkata kepada Fathimah dengan nada emosi yang semenjak tadi ditahannya, “Mengapa kamu berbuat seperti itu?”
“Ibu, Fathimah tahu bahwa Fathimah telah membuat ibu sakit hati, Fathimah minta maaf” jawab Fathimah mengakui kesalahannya.
Ibunya berkata, “Tadi bibimu mengajakmu bersalaman tetapi kamu malah tidak beranjak dari tempat dudukmu untuk menjabat tangannya.”
“Engkau juga melakukannya.” Jawab Fathimah menimpali.
Mendengar ucapan Fathimah, sang ibu terkejut, “Kapan ibu melakukannya?”
“Ibu melakukannya siang dan malam.” Jawab Fathimah enteng.
“Apa yang ibu lakukan siang dan malam.” Tanya sang ibu keheranan.
“Dia mengulurkan tangan-Nya kepadamu tapi engkau tidak mengulurkan tanganmu kepada-Nya?” tegas Fathimah.
“Siapa yang mengulurkan tangannya kepadaku, dan aku tidak meresponnya?” Tanya ibunya dengan emosi yang semakin bertambah.
Ibu, apakah ibu tahu bahwa Rabb kita membentangkan tangan-Nya kepada kita setiap hari dua kali tapi ibu malah menggenggam tangan ibu dan tidak membentangkan tangan kepada-Nya dengan bertaubat.”
Ibunya pun mulai tenggelam dalam isak tangis. Fathimah melanjutkan ucapannya yang semakin menyentuh, “Ibu, aku mengkhawatirkanmu karena engkau tidak menunaikan shalat. Padahal, amal perbuatan hamba yang pertama kali dihisab adalah shalat. Aku juga sedih sering melihatmu keluar rumah tanpa mengenakan kerudung, padahal Allah memerintahkan kita (kaum muslimah) untuk memakainya. Bukankah engkau merasa bersalah kepada tetangga kita karena perbuatanku tadi? Begitu pula aku, wahai ibu. Aku juga merasa bersalah di hadapan teman-temanku setiap kali mereka bertanya tentang engkau yang tidak memakai kerudung dan berdandan, padahal aku memakai hijab!”
Air mata taubat mengalir deras dari kelopak mata sang ibu diiringi dengan air mata anaknya yang juga mengalir deras dari kedua matanya. Selanjutnya, anak ini beranjak menuju ibunya yang telah mengasuhnya dengan penuh kasih sayang. Ibunya bergumam, “Aku bertaubat kepada-Mu ya Allah, aku bertaubat kepada-Mu ya Rabb.” Mereka pun saling berpelukan dengan tetap menahan air mata yang tak kuasa dibendung. Sang ibu berderai air mata taubat sedangkan Fathimah berderai air mata bahagia karena bisa menasehati ibunya untuk kembali kepada Allah dengan satu asa; ia dan ibunya beserta keluarganya tidak hanya berkumpul di dunia, tetapi juga di jannah-Nya.
Akhukum fillah, Ibnu Abdul Bari el `Afifi
Fathimah tetap asyik di tempat duduknya ketika ibunya menyambut seorang tetangga yang datang berkunjung. Ibunya heran ketika melihat putrinya tidak beranjak dari tempat duduknya untuk menyambut tamu itu meskipun tamu itu mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Fathimah; ia tidak memperdulikannya. Ia tidak mau menjabat tangan tamu itu. Sejenak ia membiarkan tangan tamu itu terjulur di hadapan ibunya yang masih bingung. Ibunya lantas menghardik putrinya, “Fathimah, berdiri, dan ucapkan salam kepada bibimu ini!” Fathimah membalas dengan pandang cuek, dia tidak bergeser dari tempat duduknya, seolah ia tidak mendengar perintah ibunya.
Tamu itu merasa sangat bersalah melihat sikap dingin Fathimah. Ia merasa telah menyakiti perasaan anak itu, merendahkan kehormatan dan melakukan penghinaan terhadapnya. Ia pun menarik kembali tangannya yang terjulur. Dia pun segera meminta izin undur diri seraya berkata, “Kelihatannya saya berkunjung pada saat yang kurang tepat!”
Saat itu tiba-tiba Fathimah meloncat dari tempat duduknya, memegang tangan
tamu itu dan mengecup kepalanya sembari berkata, “Maafkan aku bibi, demi Allah aku tidak bermaksud jahat kepadamu!” Fathimah meraih tangan tamu itu dengan lembut, penuh cinta dan penghormatan. Fathimah mengajaknya duduk kembali dengan berkata, “Engkau tahu kan bibi, betapa besarnya rasa cinta dan hormatku kepadamu?”
Fathimah berhasil menghibur hati tetangga itu dan mengusap lukanya akibat kesalahan yang dia lakukan. Kelakuan yang aneh, dan tidak bisa dimengerti. Di sisi lain, ibunya memendam amarah dan berusaha menahannya agar tidak berkobar di depan tamunya.
Kemudian, setelah berbincang-bincang, tetangga itu berdiri untuk pamitan pulang. Fathimah kembali bergegas berdiri untuk mengulurkan tangan, sementara tangan satunya lagi memegang tangan tamu itu sembari berkata, “Sebaiknya kubiarkan tanganku mengulur agar engkau tidak mengulurkan tanganmu kepadaku untuk menebus kesalahan yang kulakukan tadi.”
Tamu itu malah mendekap Fathimah ke dadanya, dan memeluknya erat-erat. Dia mengecup kepala Fathimah dan berkata, “Tidak mengapa, sebab kamu telah bersumpah bahwa kamu tidak bermaksud berbuat jahat kepadaku.”
Tak lama setelah kepulangan tamu itu, sang ibu berkata kepada Fathimah dengan nada emosi yang semenjak tadi ditahannya, “Mengapa kamu berbuat seperti itu?”
“Ibu, Fathimah tahu bahwa Fathimah telah membuat ibu sakit hati, Fathimah minta maaf” jawab Fathimah mengakui kesalahannya.
Ibunya berkata, “Tadi bibimu mengajakmu bersalaman tetapi kamu malah tidak beranjak dari tempat dudukmu untuk menjabat tangannya.”
“Engkau juga melakukannya.” Jawab Fathimah menimpali.
Mendengar ucapan Fathimah, sang ibu terkejut, “Kapan ibu melakukannya?”
“Ibu melakukannya siang dan malam.” Jawab Fathimah enteng.
“Apa yang ibu lakukan siang dan malam.” Tanya sang ibu keheranan.
“Dia mengulurkan tangan-Nya kepadamu tapi engkau tidak mengulurkan tanganmu kepada-Nya?” tegas Fathimah.
“Siapa yang mengulurkan tangannya kepadaku, dan aku tidak meresponnya?” Tanya ibunya dengan emosi yang semakin bertambah.
Fathimah pun menjelaskan, “Allah…, ibu. Allah selalu membentangkan tangan-Nya kepada ibu siang dan malam agar ibu bertaubat. Tapi, ibu masih saja tidak mau bertaubat. Ibu tidak mengulurkan tangan ibu kepada-Nya, dan berjanji setia kepada-Nya untuk bertaubat.” Sang ibu diam terpaku. Perkataannya anaknya membuat dirinya terpojok, merasa bersalah.Fathimah melanjutkan, “Ibu, bukankah aku telah membuatmu sedih ketika aku tidak mau mengulurkan tangan kepada tetangga kita tadi? Ibu khawatir jika nama baik keluarga kita terkoyak, sehingga ibu tidak sanggup menanggung aibnya? Padahal aku setiap hari merasa sedih karena mendapati ibu tidak mengulurkan tangan untuk bertaubat kepada Allah. Padahal Allah telah membentangkan tangan-Nya kepadamu siang dan malam. Dalam hadits shahih, Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya di malam hari untuk menerima taubatnya orang yang berbuat dosa pada siang hari, dan membentangkan tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubatnya orang yang berbuat dosa pada malam hari. Hal seperti ini berlangsung hingga matahari terbit dari Barat.” (HR. Muslim).
Ibu, apakah ibu tahu bahwa Rabb kita membentangkan tangan-Nya kepada kita setiap hari dua kali tapi ibu malah menggenggam tangan ibu dan tidak membentangkan tangan kepada-Nya dengan bertaubat.”
Ibunya pun mulai tenggelam dalam isak tangis. Fathimah melanjutkan ucapannya yang semakin menyentuh, “Ibu, aku mengkhawatirkanmu karena engkau tidak menunaikan shalat. Padahal, amal perbuatan hamba yang pertama kali dihisab adalah shalat. Aku juga sedih sering melihatmu keluar rumah tanpa mengenakan kerudung, padahal Allah memerintahkan kita (kaum muslimah) untuk memakainya. Bukankah engkau merasa bersalah kepada tetangga kita karena perbuatanku tadi? Begitu pula aku, wahai ibu. Aku juga merasa bersalah di hadapan teman-temanku setiap kali mereka bertanya tentang engkau yang tidak memakai kerudung dan berdandan, padahal aku memakai hijab!”
Air mata taubat mengalir deras dari kelopak mata sang ibu diiringi dengan air mata anaknya yang juga mengalir deras dari kedua matanya. Selanjutnya, anak ini beranjak menuju ibunya yang telah mengasuhnya dengan penuh kasih sayang. Ibunya bergumam, “Aku bertaubat kepada-Mu ya Allah, aku bertaubat kepada-Mu ya Rabb.” Mereka pun saling berpelukan dengan tetap menahan air mata yang tak kuasa dibendung. Sang ibu berderai air mata taubat sedangkan Fathimah berderai air mata bahagia karena bisa menasehati ibunya untuk kembali kepada Allah dengan satu asa; ia dan ibunya beserta keluarganya tidak hanya berkumpul di dunia, tetapi juga di jannah-Nya.
Akhukum fillah, Ibnu Abdul Bari el `Afifi
No comments:
Post a Comment