Thursday, 30 September 2010

Saat Ajal Mulai Menyapaku

Entah, aku merasa hidupku tak lama lagi. Karena penyakit yang kuderita ini semakin menyiksaku. Tak sekadar fisik. Bahkan batinku jauh lebih sakit. Sejak dinyatakan aku positif menderita HIV AIDS, aku merasa separuh jiwaku pergi. Pergi dibawa mereka yang satu per satu meninggalkanku. Teman-temanku, orang-orang disekitarku, sahabat-sahabatku, bahkan keluargaku semua menjauhiku. Ya, aku bagai bangkai yang begitu menjijikkan. Hingga untuk mendekatiku saja mereka enggan.


Aku benar-benar tak menyangka ini semua menimpaku. Kadang aku berharap, semoga semua ini hanya mimpi buruk dan sebentar lagi aku akan terbangun lalu kembali menjalani hidupku yang indah. Namun ternyata tidak. Ini semua bukan mimpi, ini benar-benar kenyataan. Kenyataan pahit yang begitu memilukan.

Mungkin aku tidak terlalu mempermasalahkan penyakit yang kuderita ini asal mereka terus menyemangatiku, terus bersamaku, hingga penyakit itu merenggut nyawaku. Tapi faktanya, mereka pergi saat aku sungguh membutuhkan mereka. Hatiku benar-benar teriris. Perih. Sakit. Jauh lebih sakit dari serangan penyakit AIDS yang menggerogoti kekebalan tubuhku. Tak ada lagi tawa. Tak ada lagi senyum. Hidupku tak lagi berwarna. Hitam putih pun tidak. Gelap. Ya, hanya gelap.
Aku tak ingin hidup jika seperti ini. Aku ingin mati. Aku ingin mati. Kalimat itu yang seringkali terngiang di telingaku. Terbersit niat untuk mengakhiri hidupku yang hina ini. Aku putuskan untuk bunuh diri. Kurasa itu jauh lebih baik bagiku. Sudah cukup lelah aku menghadapi cobaan hidup yang begitu sarat ini. Tak ada lagi yang sayang dan peduli padaku. Aku mati pun pasti tak ada yang merasa kehilangan.


Disini, di kamarku ini, kugoreskan silet ke nadiku. Ah perih, sakit sekali rasanya. Darah segar mengucur deras, membuatku semakin merasa lemas. Tiba-tiba semua gelap. Pandanganku mulai hilang. Seperti tak ada lagi oksigen merasuki paru-paruku. Akhirnya mata ini terpejam. Terpejam tuk selama-lamanya. Lega sekali rasanya. Bisa mengakhiri hidupku yang menyiksa ini. Aku serasa terbang, terbang entah kemana. Belum pernah kudapati tempat ini sebelumnya.


“Assalamu’alaikum ukhtiy..”


Sebuah suara terdengar dari sisi kananku. Sontak aku menoleh.


Aku mengernyitkan dahi ketika melihat sesosok makhluk dihadapanku. Ini jelas bukan manusia pada umumnya. Wajah dan tubuhnya begitu bercahaya. Tapi tunggu dulu, aku seperti pernah mengenal wajah itu. Ya, aku tahu. Dia adalah aku. Aku ? kenapa aku bisa bercahaya seperti itu. Ini aku. Dia..ah tidak. Mana mungkin aku ada dua.


“Wa’alaikumsalam..siapa kamu ?”


“Aku adalah bisikan hatimu. Yang selama di dunia selalu membisikkan yang haq padamu.”


“Oh..Lalu kenapa kamu menemuiku ?”


“Aku hanya ingin menanyakan ini padamu, Masihkah kamu ingat Allah, Tuhanmu ?”


“Tentu. Aku ingat Dia. Tapi sekarang aku enggan untuk mengingat-Nya lagi.”


“Kenapa begitu, ukhtiy ?”


“Karna kurasa tak ada gunanya lagi aku mengingat-Nya. Dulu, aku senantiasa mengingat dan memuja-Nya. Tapi lihat diriku sekarang, sakit-sakitan, kesepian tak ada teman, hidupku gelap. Benar-benar gelap. Doa ku pun tak diijabah oleh-Nya. Mana Dia ? kenapa Dia sama sekali tak menolongku. Aku benar-benar kecewa pada-Nya. Dia ingkar janji. Mana ? kata-Nya Dia pasti akan mengabulkan setiap doa yang dimohonkan pada-Nya. Mana buktinya ? Aku seringkali memohon pertolongan-Nya, mengharapkan cinta kasih-Nya. Tapi mana ? Dia tak menolongku. Dia sama sekali tak mengasihaniku. Ah sudahlah, malas aku membicarakan-Nya.”


“Astagfirullah, ukhtiy. Jangan bicara seperti itu. Allah sayang padamu ukhtiy. Ia ingin menguji diri-Mu, menguji kesetiaan-Mu. Ini semua cobaan, ukh. Kamu harus sabar…”


Belum sempat ia menyelesaikan pembicaraannya, aku langsung ambil bicara.


“Ah. Sayang kok begitu. Mana ada sayang kalo Dia saja menyiksaku seperti ini. Aku terima Dia memberiku penyakit terkutuk itu. Aku terima Dia merenggut kesehatanku. Tapi kenapa Dia juga merenggut orang-orang yang kusayang ? Kenapa Dia membuat mereka menjauhiku ? Aku benar-benar tak habis pikir, jahat sekali Dia padaku.”


“Istigfar kau, ukhtiy ! Buang segala pemikiran jelekmu tentang Allah. Sekali lagi aku beritahu, Allah begitu menyayangimu. Dia mengujimu dengan ujian seberat ini karena Dia tahu, kamu pasti mampu menghadapinya. Sabarlah, ukh.. Percayalah Allah akan selalu bersamamu jika kamu sabar. Surga Allah terbuka lebar untukmu jika kamu bersabar. Allah itu tidak jahat ukh, Allah itu sangat baik. Tak sadarkah kamu selama ini ukh ? Berapa banyak nikmat yang telah Allah berikan padamu, Ukh…tak terhitung Ukhtiy banyaknya. Tapi coba lihat, kenapa kamu begitu marah pada Allah ketika Allah hanya mengambil nikmat sehatmu dan nikmat bersosialisasimu ? Padahal masih ada ribuan, jutaan, bahkan lebih, nikmat yang masih dapat kamu rasakan..”


Aku tercengang mendengar kalimat itu. Ya Allah, begitu kufur nikmatnya diriku ini. Kenapa aku baru menyadari semua ini. Allah hanya mengambil secuil dari nikmat yang telah diberikan-Nya. Astagfirullah. Betapa nistanya diriku. Aku tak kuasa menahan tangis. Airmataku menetes. Aku menyesal. Kenapa aku mengakhiri hidupku dengan bunuh diri. Kenapa aku tak sadari bahwa sesungguhnya Allah senantiasa bersamaku. Aku tak kesepian. Aku masih punya Allah. Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Yang kasih sayangnya melebihi kasih sayang semua Ibu di dunia. Astagfirullah. Bisakah aku kembali ke dunia untuk memperbaiki segala kesalahanku ? Aku akan menjadi orang yang sabar, aku akan selalu berbaik sangka pada Allah. Bisakah ? Apa semua benar-benar telah terlambat ? aku menangis tersedu-sedu. Aku ingin hidup lagi. Aku ingin hidup lagi. Izinkan aku hidup lagi, ya Allah. Tak ada jawab. Hening.


“Astagfirullah, aku mohon ampun ya Allah..izinkan aku hidup lagi. Izinkan aku hidup lagi.”


“IZINKAN AKU HIDUP LAGI…”


Aku terbangun. Alhamdulillah, ini semua hanya mimpi. Mimpi yang begitu nyata. Napasku tersengal. Mataku sembab. Aku masih dalam keadaan terisak. Tak henti-hentinya bibirku mengucapkan astagfirullah. Ku lihat nadi di tanganku, utuh. Tak ada luka goresan. Ini benar-benar sebuah mimpi. Mungkin peringatan bagiku. Subhanallah, Allah masih mau memberi petunjuk padaku. Allah memberikan hidayah-Nya melalui mimpi itu. Allah masih memberiku kesempatan untuk membenahi diri. Betapa baiknya dirimu ya Allah.


Aku bergegas mengambil air wudhu. Segarnya menjalari tubuhku. Aku merasa seperti seseorang yang baru saja mandi di bawah air terjun yang menyejukkan. Aku seperti merasakan ketenangan dan kedamaian yang luar biasa dalam hatiku. Bagai tanah tandus yang kering kerontang lalu dihujani air yang menyegarkan. Belum pernah aku merasakan hal seperti ini. Benar-benar menakjubkan.


Kukenakan mukena yang telah tersimpan lama dilemari pakaianku. Mukena yang tak pernah ku sentuh sedikitpun sejak aku putus asa akan hidupku. Kini aku merasakan kerinduan yang begitu memuncak pada Penciptaku, Allah yang Maha Sempurna. Rasanya aku telah jauh sekali dari-Nya. Telah lama sekali aku tak menyapa-Nya dalam shalat. Aku Rindu. Sangat Rindu.


Kuucap lafal niat shalat tahajud. Di tengah keheningan malam, aku bertamu pada Allah. Saat aku mulai takbiratul ikhram, aku menangis sejadi-jadinya. Aku merasa tak pantas lagi menghadapkan wajahku ke arah kiblat. Aku merasa tak layak lagi menyapa Allah. Aku hanyalah hamba-Nya yang durjana. Aku takut Allah tak ingin menerimaku lagi. Aku berharap Allah masih berkenan membukakan pintu maaf-Nya untukku. Sujudku pada-Mu ya Rabbi. Lama aku tak mengangkat kepalaku dari muka sajadah itu. Aku terus bersujud. Saat itu aku merasa Allah ada di dekatku. Aku merasakan ketenangan yang begitu dalam. Aku..aku ingin memeluk-Nya. Aku ingin memeluk-Nya. Aku serasa sedang meluapkan kerinduanku pada-Nya. Aku merasa darahku berdesir. Aku baru merasakan benar-benar hidup. Hatiku, jiwaku, semua hidup. Aku seperti menemukan cahaya yang begitu terang dalam diriku. Pikiranku terang, jiwaku terang, hatiku terang. Hidupku tak lagi gelap.


Setelah tahiyatul akhir, sungguh berat rasanya aku tuk mengucapkan salam. Enggan rasanya untuk mengakhiri bertamuku pada Allah. Ah sudahlah. Aku pun mengucapkan salam. Ku panjatkan doaku pada Allah. Aku curahkan semua yang kurasa pada-Nya. lalu kulantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, yang sempat aku abaikan. lagi-lagi aku merasakan kedamaian. Subhanallah.


Sejak hari itu, aku selalu mendekatkan diri pada Allah. Aku tak lagi merasa kesepian. Karena kasih sayang Allah telah melebihi kasih sayang mereka yang meninggalkanku. Ketenangan itu pun senantiasa meliputiku. Penyakit itu kian ganas menyerangku. Namun aku sudah siap jika sewaktu-waktu, malaikat Izrail menjemputku. Sekarang yang aku lakukan adalah mencari teman yang benar-benar sejati. Yang mau menemaniku diliang lahat nanti. ‘Amal shaleh’. Ya, itulah teman yang benar-benar sejati. Yang akan setia menemaniku, yang akan membelaku jikalau aku hendak disiksa penjaga kubur nanti.


Kini aku sedang berada di sebuah panti asuhan untuk memberi sumbangan pada mereka yang tampaknya serba kekurangan. Senyum mereka, tawa mereka, tangis haru mereka, saat aku memberikan sumbangan itu membuat aku bahagia. Sepertinya aku sekarang tahu apa makna kebahagiaan yang sesungguhnya. Kebahagiaan yang sesungguhnya akan kita dapat ketika kita bisa membuat orang lain bahagia. J


Aku merasa sisa waktuku benar-benar tinggal menghitung hari. Entahlah, telah kuserahkan semua itu pada Sang Ilahi. Sisa waktuku ini, akan kuhabiskan di rumah Allah, Ka’bah baitullah. Aku ingin meninggal disana. Aku ingin dimakamkan di kota mekkah yang aman itu.


Keberangkatanku ke tanah suci itu, membuatku harus meninggalkan keluargaku yang begitu aku sayangi. Namun mereka tak pernah peduli. Mereka hanya sibuk dengan segudang aktivitas yang memang harus mereka jalani. Sampai hati aku sakit bukannya diurusi justru dijauhi. Tapi tak apalah. Aku hanya bisa berharap semoga Allah senantiasa meridhai mereka. Kutinggalkan sepucuk surat di meja makan.


Mama…Papa…Kakak…Aku pergi. Aku akan pergi tuk menghabiskan sisa waktuku di rumah Allah, ka’bah. Aku akan dimakamkan disana. Aku harap kalian akan menyusul dan menengok makamku nanti. Naik Haji-lah ma, pa, ka, kalian mampu untuk itu bukan ? Allah pasti mengharapkan kedatangan kalian.


Aku minta maaf jika selama aku hidup, aku cuma nyusahin kalian, aku cuma bikin malu kalian karena penyakitku ini. Satu hal yang ingin aku ungkapkan pada kalian..aku sayang kalian. Aku sayaaang banget sama kalian. Love you.






Ukhtiy…


1 bulan kemudian…


Ia Meninggal dunia dengan senyuman simpul dibibirnya. Subhanallah.


Ukhtiy Hamasah..kini hanya tinggal sebuah nama. Ya, nama itu telah tertulis di batu nisannya. Hmm..kini nama itu pun telah terpatri di hati sanubari keluarganya.


Keluarganya saat ini tengah berada disisi makam Ukhtiy. Segenap kesedihan dan penyesalan menyelimuti mereka. Namun apalah daya. Orang yang sudah meninggal dunia tak akan bisa hidup lagi, kecuali nanti saat sangkakala ditiupkan. Wallahu’alam.


Mereka hanya dapat mengucapkan terimakasih untuk Ukhtiy yang telah mengingatkan mereka untuk kembali ke jalan-Nya.


☼☼☼


“labaikallahumalabaik…”


Suara itu menyeruak di ka’bah-Mu ya Rabb.


Akhirnya Mama, papa, dan kakaknya ukhtiy bersama jama’ah haji lain berbondong-bondong memutari ka’bah (tawaf). Allahuakbar.

1 comment:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete